SEPULUH tahun lalu rezim militer yang berkuasa di Indonesia lebih dari tiga dasawarsa tumbang. Soeharto yang menjadi puncak kekuasaan Orde Baru mengundurkan diri setelah dihantam gelombang people power yang dimotori mahasiswa dan kelompok pemuda.
Foto: Dari kiri ke kanan Abdillah Toha, Theo Sambuaga, Teguh, Ujiati Tosari, Antarini Malik, dan Tosari Wijaya.
Kini, banyak negara yang merasa perlu mempelajari cara Indonesia mengubah otoritarianisme menjadi demokrasi. Termasuk Amerika Serikat, negeri yang di satu sisi dikenal sebagai kampiun demokrasi.
Itu sebabnya, hari ini waktu Hawaii (22/4) atau Rabu waktu Indonesia (23/4), sebanyak enam anggota Komisi I DPR-RI tiba di Honolulu, Hawaii. Diundang House Democracy Assistance Commission, sebuah lembaga di bawah House of Representative atau DPR Amerika Serikat, mereka diharap dapat membagi lika-liku pengalaman Indonesia menegakkan demokrasi.
Selain Ketua Komisi I Theo Sambuaga, delegasi DPR-RI ini juga diperkuat Marzuki Darussman dan Antarini Malik (Golkar), Abdillah Toha dan Djoko Susilo (PAN), serta Tosari Wijaya (PPP).
Sebelum memulai program resmi, rombongan Komisi I DPR-RI menyempatkan diri mengunjungi Pali Highway. Ini adalah sebuah dataran tinggi yang begitu indah namun menyimpan cerita seram mengenai penaklukan kepualauan Hawaii di bawah kekuasaan Raja Kamehameha.
Rombongan Komisi I DPR-RI juga mengunjungi patung Kamehameha di seberang Istana Iolani, pusat pemerintahan Hawaii sebelum kerajaan itu ditumbangkan dan diduduki Amerika Serikat tahun 1893. Seratus tahun setelah pendudukan Amerika Serikat, Presiden Bill Clinton menyampaikan permintaan maaf kepada rakyat Hawaii dan keluarga Kerajaan Hawaii. Namun pemerintah Amerika menolak mengembalikan kedaulatan Kerajaan Hawaii.
Program workshop demokrasi yang diikuti anggota Komisi I DPR-RI ini akan berlanjut hingga ke Washington D.C. Di ibukota Amerika Serikat itu mereka akan bertemu dengan sejumlah anggota DPR dan Senat Amerika Serikat.
***
Namun sebenarnya banyak pihak yang meragukan keberhasilan jalan demokrasi ala Indonesia itu.
Ketua Umum Komite Bangkit Indonesia Dr. Rizal Ramli, misalnya, mengatakan reformasi yang digulirkan kaum muda sepuluh tahun lalu justru berantakan karena dibajak oleh kelompok pro-satus quo yang lebih senang menghamba pada kekuatan ekonomi asing, semisal International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia.
Penjajahan gaya baru yang dipraktikkan kelompok pembajak reformasi ini telah membonsai kekuatan politik pro-rakyat, dan sebaliknya membesarkan kelompok politik yang membiarkan bangsa ini terjerumus menjadi bangsa kuli.
”Reformasi yang dikhianati ini melahirkan oligarki baru,” kata Rizal beberapa hari lalu saat memberikan keterangan mengenai rencana ”Konsolidasi Nasional Pemuda, Mahasiswa dan Aktivitis Pergerakan” yang akan diselenggarakan pada 24 April, di Jakarta.
”Berita di media massa mengenai rakyat miskin yang meninggal akibat kelaparan atau tidak mampu berobat, hanyalah fenomena permukaan gunung es. Kita tahu persis di lapangan jumlahnya bisa jauh lebih besar. Sayangnya pemerintah seperti tak menganggap kemiskinan sebagai masalah serius yang harus segera ditangani,” kata Rizal.
Ironisnya pemiskinan ini terjadi karena proses pembuatan UU di parlemen telah dicemari kepentingan pendukung neoliberal yang dengan sukarela memberikan kekayaan alam Indonesia kepada negara asing. Dia menyebutkan beberapa UU yang dicemari kepentingan asing antara lain adalah UU 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU 22/2001 tentang Migas, UU 13/2003 tentang Perburuhan, dan UU Privatisasi Sumber Daya Air.
Di sisi lain, mantan Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan ini mengakui bahwa upaya mengembalikan gerakan reformasi kepada relnya pun tidak mudah.
Sejak reformasi bergulir hingga saat ini, sambungnya, yang terjadi adalah fragmentasi gerakan pro-rakyat. Fragmentasi ini terjadi karena berbagai kelompok pro-rakyat tidak segera menetapkan paham neoliberalisme yang dianut elit politik sebagai pengganti rezim militeristik Soeharto. Padahal, sambung dia lagi, inilah Orde Baru gaya baru.
”Perlawanan spontan akar-rumput atas neoliberalisme muncul hampir di semua daerah. Setiap hari dapat kita lihat bagaimana supir, PKL, warga miskin, petani, buruh, pedagang pasar, dan sebagainya turun ke jalan menolak kebijakan neoliberal yang memiskinkan rakyat,” ujar dia lagi.
Nah, pelajaran apa yang dapat dipetik dari “demokrasi” Indonesia pasca-reformasi? [Teguh Santosa]
No comments:
Post a Comment